Fatimah az-Zahra sa—putri Nabi Muhammad saw dari Sayidah Khadijah al-Kubra sa—bukan sekadar sosok dalam sejarah. Ia adalah pelita yang menyala abadi dalam hati kaum beriman. Istri dari Imam Ali as, ibu dari Hasan, Husain, Zainab, dan Ummu Kultsum, serta satu dari lima Ashabul Kisa’, Fatimah adalah sosok yang kemuliaannya terpatri dalam Al-Qur’an dan sabda Rasulullah saw.

Nabi saw menyebutnya sebagai “Pemimpin para wanita di seluruh alam,” dari Hawa hingga akhir zaman. Sebagian besar Muslim, khususnya Syiah, meyakini bahwa beliau adalah bagian dari Empat Belas Manusia Suci (Ma’shumin), dan keutamaannya ditegaskan dalam ayat-ayat seperti Ayat Tathir, Ayat Mawaddah, dan Ayat Ith’am. Julukan seperti al-Zahra (yang bersinar), al-Batul (yang suci), dan Sayyidatu Nisa al-‘Alamin (penghulu wanita semesta alam) menggambarkan pancaran kepribadiannya. Sedangkan gelar Ummu Abiha (ibu bagi ayahnya) menggambarkan kedekatan dan kasih sayangnya kepada Rasulullah saw.

Fatimah sa satu-satunya perempuan yang mendampingi Rasulullah saw dalam peristiwa Mubahalah melawan kaum Nasrani Najran. Dan ketika Nabi saw wafat, ia menjadi benteng pembelaan atas hak-hak Ahlulbait, terutama hak kekhalifahan suaminya, Imam Ali as. Ia menyampaikan Khotbah Fadakiyah—sebuah pidato monumental yang menjelaskan kedudukan Ahlulbait dan hak-hak mereka yang telah dikesampingkan.

Namun perjuangannya harus dibayar mahal. Tak lama setelah kepergian ayahandanya, Sayidah Zahra sa wafat dalam keadaan tertindas. Ia berpulang pada 3 Jumadil Akhir tahun 11 H/632 M, dalam usia yang sangat muda. Sesuai wasiatnya, ia dimakamkan diam-diam di malam hari, dan hingga kini, kuburannya tetap menjadi misteri yang menyayat hati para pecinta Ahlulbait.

Tasbih Fatimah—bacaan zikir yang diajarkan Rasulullah saw kepada putrinya—hingga kini diamalkan oleh kaum Muslimin sebagai bagian dari warisan spiritualnya. Sementara Mushaf Fatimah, kitab suci yang berisi wahyu ilham dari Malaikat kepada Sayidah Zahra, disimpan oleh para Imam Maksum dan kini diyakini berada di tangan Imam Mahdi as.

Setiap tahun, umat Syiah mengenang kesyahidannya dalam Ayyam Fatimiyah—hari-hari duka yang menjadi pengingat akan keteguhan, pengorbanan, dan cinta suci Sayidah Zahra sa kepada risalah kenabian.

Masa Kanak-Kanak yang Ditingkahi Ujian

Fatimah lahir di rumah Khadijah sa di Mekah, di antara gang Attharin dan al-Hajar, menurut mayoritas riwayat Syiah pada 20 Jumadil Akhir tahun ke-5 Bi’tsah. Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai tahun kelahirannya. Sementara riwayat Ahlusunah menyebutkan ia lahir lima tahun sebelum bi’tsah.

Masa kecil Fatimah tidak dihiasi kemewahan. Ia tumbuh dalam tekanan, terutama saat Bani Hasyim diboikot di Syi’ib Abi Thalib. Ia menyaksikan kekejaman Quraisy terhadap ayahandanya, kehilangan ibunya Khadijah dan pamannya Abu Thalib di usia belia, dan kemudian turut hijrah ke Madinah bersama Ali as dan kaum perempuan lainnya.

Pinangan dari Langit

Begitu banyak tokoh Quraisy meminang Fatimah—Abu Bakar, Umar, hingga Abdurrahman bin Auf—namun semuanya ditolak. Rasulullah saw bersabda, “Pernikahan Fatimah adalah urusan langit.” Hingga akhirnya, lamaran dari Ali as—sahabat dan saudara Rasul—diterima. Meski dalam keterbatasan, Imam Ali menggadaikan baju perangnya untuk membayar mahar.

Pernikahan agung itu berlangsung di tahun ke-2 H, diselenggarakan sederhana namun sarat makna. Dari rumah yang penuh cinta dan kesederhanaan itu, lahirlah generasi suci: Hasan, Husain, Zainab, dan Ummu Kultsum.

Rumah Cinta yang Penuh Keteladanan

Fatimah dan Ali hidup dalam keterbatasan, namun dipenuhi cinta. Ketika kelaparan melanda, Fatimah memintal sendiri benang untuk membantu kebutuhan rumah. Ketika diberikan pembantu, ia memilih berbagi pekerjaan agar tak sepenuhnya dibebankan. Ia mengenakan perhiasan hanya untuk menyenangkan hati suaminya, dan mendermakan apa yang ia punya untuk yang membutuhkan.

Ia memanggil suaminya dengan penuh kasih, dan di depan umum menyebutnya dengan kehormatan “Abal Hasan”. Dari rumah kecil mereka, terpancar cahaya yang menerangi peradaban Islam.

Akhir Hayat yang Menggetarkan Jiwa

Sejak wafatnya Rasulullah saw, Fatimah sa tak pernah terlihat tersenyum. Luka batin, penolakan hak, dan kekerasan yang menimpanya mempercepat perjumpaannya dengan Sang Kekasih. Dalam kondisi sakit, dengan tubuh penuh luka dan hati yang hancur, ia meninggalkan dunia dalam keheningan malam. Ia syahid sebagai pejuang, bukan sebagai korban. Dan kuburnya yang tersembunyi adalah simbol dari sejarah yang terkubur—namun takkan pernah terlupakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *