Fatimah az-Zahra adalah pendidik agung yang dilahirkan oleh sejarah. Hasil didikannya tercermin pada kepribadian anak-anaknya: Sayidina Hasan, Sayidina Husain, serta dua putrinya, Zainab al-Kubra dan Zainab al-Shughra (yang dikenal juga sebagai Ummu Kultsum). Kepribadian mereka yang luhur menjadi saksi atas metode pendidikan Fatimah yang tiada tanding.
Sebagai satu-satunya putri Rasulullah saw, Fatimah az-Zahra menjadi uswah hasanah — teladan terbaik — bagi seluruh pendidik sepanjang masa. Dalam Al-Qur’an, beliau diabadikan sebagai “al-Kautsar”, sumber keberkahan yang tak habis. Fatimah tumbuh dalam pelukan pendidikan kenabian, alumni dari al-Jami’ah al-Muhammadiyyah — universitas kehidupan Rasulullah saw. Beliau menyimpan asrar wa ‘ulum Muhammadiyyah, rahasia dan ilmu Rasulullah, yang menjadikan dirinya tak pernah kehabisan hikmah dalam mendidik putra-putrinya.
Di tengah krisis pendidikan masa kini, penting bagi kita untuk kembali bercermin kepada model pendidikan Fatimah az-Zahra. Salah satu kunci sukses beliau adalah membangun pendidikan dari fondasi spiritualitas ibu, pemilihan nama yang bermakna, serta keteladanan nyata dalam amal perbuatan.
Sifat spiritual dan suasana batin seorang ibu memiliki pengaruh besar dalam membentuk karakter anak. Keagungan spiritual Fatimah, kesucian ibadahnya, dan ketakwaannya menjadi landasan bagi lahirnya generasi seperti Hasan dan Husain, dua pemuda penghulu surga. Maka, jika ingin membentuk anak-anak saleh dan salehah, perbaikan diri orang tua, terutama sang ibu, adalah syarat utama.
Salah satu prinsip pendidikan Fatimah az-Zahra adalah pemilihan nama yang penuh makna. Rasulullah saw bersabda, “Namailah anak-anak kalian dengan nama para nabi, dan sebaik-baik nama adalah Abdullah dan Abdurrahman.” (Sunan Abi Dawud, Juz 4, hlm. 288). Dalam riwayat lain, Rasulullah menekankan agar anak yang diberi nama “Muhammad” dimuliakan, tidak direndahkan, dan selalu dihormati. Imam Ja’far ash-Shadiq juga mewasiatkan, “Jika engkau menamai anak perempuanmu Fatimah, jangan pernah mencelanya, memukulnya, atau mendoakan keburukan untuknya.”
Fatimah Zahra memilihkan nama terbaik untuk anak-anaknya, atas musyawarah dengan ayah dan suaminya. Ini menunjukkan bahwa pemberian nama bukan sekadar tradisi, melainkan bagian dari doa dan harapan panjang dalam pendidikan anak.
Namun, pendidikan bukan hanya soal nama atau nasihat. Pendidikan sejati lahir dari keteladanan nyata. Fatimah az-Zahra mendidik dengan amal. Hasan bin Ali meriwayatkan: “Setiap malam Jumat, ibuku beribadah hingga fajar. Saat berdoa, ia mengutamakan orang lain dan tidak pernah berdoa untuk dirinya sendiri. Ketika kutanya, ‘Ibu, mengapa kau tidak berdoa untuk dirimu sendiri?’ Beliau menjawab, ‘Tetangga didahulukan, wahai putraku.'”
Dalam dunia pendidikan anak, keteladanan memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dibandingkan kata-kata. Orangtua yang ingin anaknya menjauhi perilaku buruk harus terlebih dahulu memperbaiki perilaku dirinya. Tidaklah mungkin seorang ayah melarang anaknya merokok jika dirinya sendiri seorang perokok berat. Tidaklah konsisten seorang ibu yang menuntut anaknya berpakaian sopan sementara dirinya sendiri berpakaian seronok.
Melihat sosok Fatimah az-Zahra, kita menemukan model pendidikan keluarga yang sempurna: spiritualitas yang kuat, kesadaran psikologis dalam memberi nama, dan keteladanan amal yang nyata. Ketiganya membentuk sebuah ekosistem pendidikan yang melahirkan manusia-manusia besar, bahkan penghulu pemuda surga.
Di era modern ini, ketika tantangan pendidikan semakin kompleks, meneladani metode pendidikan Fatimah az-Zahra bukan hanya sebuah pilihan, tetapi sebuah kebutuhan. Dari beliau, kita belajar bahwa membangun peradaban dimulai dari membangun satu keluarga suci — keluarga yang berakar pada tauhid, berbuah pada akhlak mulia, dan menginspirasi dunia sepanjang zaman.