Ada luka yang tidak bisa disembuhkan oleh waktu. Bukan karena waktu tak cukup untuk mengobatinya, tetapi karena luka itu adalah bagian dari cinta yang dalam. Ia hanya bisa dihadapi, dipeluk erat, dan diserahkan kepada Allah. Itulah duka yang dirasakan oleh Sayidah Fathimah Az Zahra as, putri tercinta Rasulullah saw, ketika kehilangan sosok yang menjadi segalanya: seorang ayah, seorang nabi, cahaya dunia.
Madinah berselimut sunyi. Udara terasa berat, jalan-jalan sepi. Tidak ada kata-kata yang mampu melukiskan apa yang terjadi ketika Rasulullah saw berpulang. Dalam riwayat yang dikisahkan oleh Imam Ja’far Ash-Shadiq as, musibah ini disebut sebagai musibah terbesar dalam sejarah umat manusia. Langit pun seolah ikut berduka.
Namun luka Sayidah Zahra tidak berhenti di situ. Luka itu semakin dalam ketika hak-haknya dirampas: tanah Fadak, warisan yang diamanahkan Rasulullah untuknya, dirampas atas nama kekuasaan. Bahkan hak kepemimpinan yang seharusnya berada di tangan Imam Ali as, suaminya, diserobot secara paksa. Dunia yang sudah gelap karena wafatnya Rasulullah, kini seperti runtuh seluruhnya di atas pundaknya.
Dalam derai air mata dan jeritan sunyi, Sayidah Zahra berdiri tegak. Ia tidak memilih jalan dendam. Ia memilih jalan Allah. Dalam kesendirian yang pilu, beliau tetap menyuarakan kebenaran, menyampaikan khutbahnya yang terkenal: Khutbah Fadak. Di sana, di hadapan umat yang berpaling, beliau bersaksi tentang haknya, tentang warisan kenabian, tentang kebenaran yang diinjak-injak.

Duka yang Membelah Langit
Rasulullah saw adalah cahaya yang membimbing umat manusia. Bagi Sayidah Zahra, beliau bukan hanya seorang nabi, tapi ayah, pelindung, dan sumber ketenangan. Ketika Rasulullah berpulang ke haribaan Tuhannya, bumi Madinah seolah kehilangan cahayanya. Sayidah Zahra merasakan kehilangan itu lebih dari siapa pun.
Dalam Biharul Anwar, Imam Ja’far Ash-Shadiq as meriwayatkan:
“Sungguh, musibah bagi Fathimah dengan wafatnya ayahnya adalah musibah terbesar yang pernah menimpa umat manusia.”
(Biharul Anwar, jilid 43, hlm 178)
Kesedihan beliau bukanlah kesedihan biasa. Itu adalah guncangan spiritual yang menimpa seorang perempuan suci yang kehidupannya berporos pada cahaya kenabian.
Menangis adalah Hak, Larut adalah Kekalahan
Dalam Kitab Sulaym bin Qays, disebutkan bahwa Sayidah Zahra sering menangis hingga suara tangisnya terdengar oleh penduduk Madinah. Mereka merasa pilu. Namun, Imam Ali as membangunkan sebuah rumah kecil untuknya, Bayt al-Ahzan (Rumah Duka), agar beliau bisa menangis dengan bebas, tanpa melukai hati orang lain.
Tangisan Sayidah Zahra adalah bentuk ekspresi yang sehat atas kehilangan. Beliau tidak menekan perasaan. Beliau tidak pura-pura kuat. Namun, tangis itu tidak pernah berubah menjadi keputusasaan. Dalam setiap linangan air mata itu, ada doa. Ada sujud panjang. Ada seruan lirih dari seorang hamba yang menggantungkan seluruh jiwanya kepada Sang Pemilik Kehidupan.
Dalam Khutbah Fadak, Sayidah berkata:
“Musibah ini membuat bumi menjadi gelap bagiku. Surga terasa suram. Harapanku menjadi sirna. Musibah ini menimpa kami dengan tiba-tiba, sepeninggalan Nabimu…”
(Khutbah Fadak, riwayat Syaikh Shaduq dalam Kitab Al-Amali)
Beliau tidak menyembunyikan betapa berat rasa itu. Tetapi beliau juga tidak membiarkan duka menghancurkan kehormatan rohaninya.

Spiritualitas: Jalan Penyembuhan Jiwa
Salah satu rahasia kekuatan Sayidah Zahra terletak pada hubungannya yang tak terputus dengan Allah. Beliau membangun kembali kekuatannya bukan dari dunia luar, tetapi dari dalam batinnya.
Imam Hasan al-Mujtaba as meriwayatkan:
“Aku melihat ibuku Fathimah pada malam hari berdiri dalam shalat hingga kakinya bengkak. Aku mendengar beliau berdoa untuk orang lain, menyebut nama-nama mereka satu per satu, tetapi tidak menyebut dirinya sendiri. Aku bertanya, ‘Ibu, mengapa engkau tidak mendoakan dirimu?’ Beliau menjawab, ‘Nak, tetangga didahulukan sebelum diri sendiri.'”
(Biharul Anwar, jilid 43, hlm 81)
Di tengah duka yang mengiris jiwa, beliau tetap memikirkan orang lain. Beliau tetap menjadi sumber kasih. Inilah bentuk tertinggi dari kekuatan spiritual: tetap mencintai, bahkan dalam luka.
Belajar dari Sayidah Zahra
Hari ini, ketika banyak dari kita dihimpit oleh tekanan hidup, rasa kehilangan, dan kehampaan batin, Sayidah Zahra mengajarkan jalan keluar:
- Akui luka itu, jangan memungkirinya.
- Ekspresikan duka dengan sehat, bukan dengan melukai diri atau orang lain.
- Bangun kekuatan dari doa, sujud, dan hubungan dengan Allah.
- Temukan makna dalam musibah, bukan sekadar bertanya “mengapa,” tetapi bertanya “untuk apa aku diuji.”
Sayidah Zahra tidak mengajarkan kita untuk menjadi kebal terhadap rasa sakit. Beliau mengajarkan bahwa rasa sakit itu bisa menjadi jembatan menuju keteguhan yang lebih dalam.
Sebagaimana beliau berkata dalam Khutbah Fadak:
“Aku tidak mengucapkan kata-kata ini karena kesalahan dalam memahami perintah Allah atau kekeliruan dalam Kitab-Nya. Tetapi aku berbicara berdasarkan keyakinan dan keteguhan iman.”
Duka adalah jalan. Bukan untuk menenggelamkan kita, tetapi untuk membimbing kita menuju Allah. Sayidah Zahra, perempuan suci itu, telah berjalan di jalan duka itu dengan penuh kemuliaan.
Kini, saat kita merasakan kehilangan dalam hidup, kita bisa berpegangan pada teladan beliau:
Berduka, tapi tetap berdiri. Menangis, tapi tetap percaya. Terluka, tapi tetap mencintai.
Karena bersama Allah, tidak ada luka yang sia-sia.